Slideshow

Advertisement (468 x 60px )

Latest News

Rabu, 15 April 2009

FATWA TUKANG BECAK

Perjalanan ulang alik Yoga-Jombang biasanya kami (saya dan saudara-saudariatau teman-teman) lakukan di paruh malam yang kedua.Naik bis yang kecepatannya supir ngedap-ngedapi selama 4-5 jam, subuhmenyongsong kami di tempat tujuan. Terkadang malah hanya tiga setengah jam,atau malah hanya beberapa kejapan saja - karena kami 'tewas' sepanjangperjalanan.Tak pernah terlintas ide di benak saya unuk mencoba menerapkan mekanismedemokrasi di bis: misalnya, semua unsur merundingkan berapa kecepatan bissebaiknya. Saya biasanya pasrah saja. Tak pernah melontarkan kritik kepadabagaimana sopir menjalankan roda pemerintahannya. Tak perlu mengonrol.Paling hanya evaluasi, yang toh saya 'peti-es' kan sendiri, tidak saya'press release' kan.Demikianlah, malam itu, kami menunggu bis ke Solo atau Yogya di perempatannjomplangan atau teteg sepur deka stasiun Jombang. Becak berderet di sana,menunggu semacam janji hari depan, tanpa batasan siang atau malam.Kami menunggu bis favorit kami. Tapi karena malam, tak bisa langsung tampakbis apa yang akan lewat. Jadi satu-satunya jalan ialah menjalankan semacamtaktik atau srategi atau penipuan.Semua bis kami stop. Kalau bis ternyata ke Kediri atau Ponorogo, kami jujurbilang "Ke Yogya" Kalau yang lewat adalah bis ke Yogya tapi bukan favoritkami, kami berbohong "Ke Ponorogo!"Demikian berlangsung berulang-ulang. Para tukang becak guyup membantukesibukan kami "memilih masa depan".Salah seorang tukang becak bahkan berlaku seperti saudara kami sendiri:aktif menolong menyetop bis dan mengobrol di setiap 'pause'. Dan ketikakemudian hujan mendadak turun, ia mempersilakan kami berlindung di becaknya,sementara ia numpang di becak sisinya.Hujan berkepanjangan. Tiba-tiba tukang becak itu nyeletuk: "Ya inilahhukuman bagi orang yang berbohong!"Kami terkesiap. Tak tahu mau berkata apa-apa."Tapi memang kalau meningkatkan taraf hidup memang harus pandai bohong" - iamelanjutkan - "Kalau jujur saja nanti hanya dapat bis yang jelek danlambat."Dan ia terus melanjutkan - "Tapi ya untunglah Cak, Tuhan menghukum langsung,jadi nanti di akhirat lebih ringan. Untung juga Tuhan masih mau menghukum,itu namanya Dia tresno, kita tidak di-ujo saja..."Kami benar-benar meenjadi bisu.Sambil akhirnya bis favorit itu tiba, si tukang becak mempersilakan kami danberkata - "Selamat tidur Cak! Mudah-mudahan sudah lunas hukumnya!"Saya malah tak bisa tidur. Apa benar sudah lunas? Apalagi keadaan hidupsekarang ini membuat dosa tak terasa sebagai dosa. Emha Ainun NadjibDari Buku "Secangkir Kopi Jon Pakir"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas partisi anda